4 TIPE MANUSIA MENGHADAPI TEKANAN HIDUP

09 September 2008


"Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh" (John Gray)

Pembaca, hidup memang tidak lepas dari berbagai tekanan. Lebih-lebih,
hidup di alam modern ini yang menyuguhkan beragam risiko. Sampai
seorang sosiolog Ulrich Beck menamai jaman kontemporer ini dengan
masyarakat risiko (risk society). Alam modern menyuguhkan perubahan
cepat dan tak jarang mengagetkan.

Nah, tekanan itu sesungguhnya membentuk watak, karakter, dan
sekaligus menentukan bagaimana orang bereaksi di kemudian hari.

Pembaca, pada kesempatan ini, saya akan memaparkan empat tipe orang
dalam menghadapi berbagai tekanan tersebut. Mari kita bahas satu demi
satu tipe manusia dalam menghadapi tekanan hidup ini.

Tipe pertama, tipe kayu rapuh. Sedikit tekanan saja membuat manusia
ini patah arang. Orang macam ini kesehariannya kelihatan bagus. Tapi,
rapuh sekali di dalam hatinya. Orang ini gampang sekali mengeluh pada
saat kesulitan terjadi.

Sedikit kesulitan menjumpainya, orang ini langsung mengeluh, merasa
tak berdaya, menangis, minta dikasihani atau minta bantuan. Orang ini
perlu berlatih berpikiran positif dan berani menghadapi kenyataan
hidup.

Majalah Time pernah menyajikan topik generasi kepompong (cacoon
generation). Time mengambil contoh di Jepang, di mana banyak orang
menjadi sangat lembek karena tidak terbiasa menghadapi kesulitan.
Menghadapi orang macam ini, kadang kita harus lebih berani tega.
Sesekali mereka perlu belajar dilatih menghadapi kesulitan. Posisikan
kita sebagai pendamping mereka.

Tipe kedua, tipe lempeng besi. Orang tipe ini biasanya mampu bertahan
dalam tekanan pada awalnya. Namun seperti layaknya besi, ketika
situasi menekan itu semakin besar dan kompleks, ia mulai bengkok dan
tidak stabil. Demikian juga orang-orang tipe ini. Mereka mampu
menghadapi tekanan, tetapi tidak dalam kondisi berlarut-larut.

Tambahan tekanan sedikit saja, membuat mereka menyerah dan putus asa.
Untungnya, orang tipe ini masih mau mencoba bertahan sebelum akhirnya
menyerah. Tipe lempeng besi memang masih belum terlatih. Tapi, kalau
mau berusaha, orang ini akan mampu membangun kesuksesan dalam
hidupnya.

Tipe ketiga, tipe kapas. Tipe ini cukup lentur dalam menghadapi
tekanan. Saat tekanan tiba, orang mampu bersikap fleksibel. Cobalah
Anda menekan sebongkah kapas. Ia akan mengikuti tekanan yang terjadi.
Ia mampu menyesuaikan saat terjadi tekanan. Tapi, setelah berlalu,
dengan cepat ia bisa kembali ke keadaan semula. Ia bisa segera
melupakan masa lalu dan mulai kembali ke titik awal untuk memulai
lagi.

Tipe keempat, tipe manusia bola pingpong. Inilah tipe yang ideal dan
terhebat. Jangan sekali-kali menyuguhkan tekanan pada orang-orang ini
karena tekanan justru akan membuat mereka bekerja lebih giat, lebih
termotivasi, dan lebih kreatif. Coba perhatikan bola pingpong. Saat
ditekan, justru ia memantuk ke atas dengan lebih dahsyat. Saya
teringat kisah hidup motivator dunia Anthony Robbins dalam salah satu
biografinya.

Untuk memotivasi dirinya, ia sengaja membeli suatu bangunan mewah,
sementara uangnya tidak memadai. Tapi, justru tekanan keuangan inilah
yang membuat dirinya semakin kreatif dan tertantang mencapai tingkat
finansial yang diharapkannya. Hal ini pernah terjadi dengan seorang
kepala regional sales yang performance- nya bagus sekali.

Bangun network

Tetapi, hasilnya ini membuat atasannya tidak suka. Akibatnya, justru
dengan sengaja atasannya yang kurang suka kepadanya memindahkannya ke
daerah yang lebih parah kondisinya. Tetapi, bukannya mengeluh seperti
rekan sebelumnya di daerah tersebut. Malahan, ia berusaha membangun
netwok, mengubah cara kerja, dan membereskan organisasi. Di tahun
kedua di daerah tersebut, justru tempatnya berhasil masuk dalam
daerah tiga top sales.

Contoh lain adalah novelis dunia Fyodor Mikhailovich Dostoevsky. Pada
musim dingin, ia meringkuk di dalam penjara dengan deraan angin
dingin, lantai penuh kotoran seinci tebalnya, dan kerja paksa tiap
hari. Ia mirip ikan herring dalam kaleng. Namun, Siberia yang beku
tidak berhasil membungkam kreativitasnya.

Dari sanalah ia melahirkan karya-karya tulis besar, seperti The
Double dan Notes of The Dead. Ia menjadi sastrawan dunia. Hal ini
juga dialami Ho Chi Minh.

Orang Vietnam yang biasa dipanggil Paman Ho
ini harus meringkuk dalam penjara. Tapi, penjara tidaklah membuat
dirinya patah arang. Ia berjuang dengan puisi-puisi yang ia tulis. A
Comrade Paper Blanket menjadi buah karya kondangnya.

Nah, pembaca, itu hanya contoh kecil. Yang penting sekarang adalah
Anda. Ketika Anda menghadapi kesulitan, seperti apakah diri Anda?
Bagaimana reaksi Anda? Tidak menjadi persoalan di mana Anda saat ini.
Tetapi, yang penting bergeraklah dari level tipe kayu rapuh ke tipe
selanjutnya. Hingga akhirnya, bangun mental Anda hingga ke level bola
pingpong. Saat itulah, kesulitan dan tantangan tidak lagi menjadi
suatu yang mencemaskan untuk Anda. Sekuat itukah mental Anda?
Gytha (Sumber : Berani Gagal.com)



Read More...

Dilema Menjadi Pecandu Narkoba

04 September 2008

Pecandu Narkoba, Apakah Korban atau Pelaku Kriminal?

Jika Anda adalah Roy Marten, atau Shelia Marclia, apa yang Anda butuhkan saat ini? Perawatan dan rehabilitasi, atau penjara?
Pertanyaan ini harus dijawab dengan baik karena menyangkut kepentingan masa depan manusia itu dan negara.
Untuk itu, diperlukan argumen yang mengedepankan rasa keadilan dan kepentingan perlindungan masyarakat.

Mari mulai dengan penjara, pilihan yang lazim dilakukan. Karena sampai saat ini hampir semua pelaku Narkoba menjadi sasaran empuk target operasional kepolisian. Kabarnya bahkan tiap bulannya setiap Polsek maupun Polres di bagian Narkoba punya target jumlah tertentu yang harus di capai oleh personelnya untuk bisa menangkap pelaku yang terlibat di jaringan Narkoba.

Alhasil saat ini hampir semua penghuni Lapas mengalami Over Capacity. Lapas Narkoika Jakarta saat ini saja sudah mengalami over load penghuni sebanyak 2 kali lipat dari kapasitas maximum yang ditetapkan. Tapi kemudian timbul pertanyaan Apa manfaat penjara bagi pemakai narkoba seperti Roy Marten atau Shelia Marcelia ?

Pendapat umum menyatakan, penjara memberi efek jera. Artinya, mereka yang melakukan tindakan melawan hukum akan takut dan berpikir 1000 kali untuk mengulang perbuatannya karena tidak mau merasakan kembali dinginnya kamar ’hotel prodeo’. Pengalaman hidup di penjara yang pahit dan sengsara diharapkan dapat menjadi momok bagi mereka.

Benarkah? Bagi pengidap masalah adiksi terutama Narkoba pemenjaraan tidak pernah efektif. Sulit mencari bukti itu dalam literatur adiksi.

Kebutuhan akan zat adiktif atau perilaku yang digandrunginya, seperti judi, minum-minuman keras, gaya hidup yang hedonisme akan memberi dorongan yang amat besar bagi si pelaku sehingga mengalahkan mekanisme berpikir rasional dan rasa takut akan konsekuensinya. Karena itu, pencandu narkoba adalah residivis paling umum di lembaga pemasyarakatan di mana pun di dunia. Pertanyaannya, mengapa?

Adiksi Penyakit kronis
WHO (2002) mengakui adiksi sebagai sebuah penyakit kronis yang sering kambuh (chronically relapsing disease). Untuk itu, perawatan dan rehabilitasi jangka panjang (lebih dari enam bulan) dibutuhkan. Bukti-bukti empirik menunjukkan, perawatan dan rehabilitasi saja tidak cukup, dibutuhkan program purnarawat yang jangka waktunya bisa lebih dari enam bulan.

Karena untuk mencapai kondisi ”pulih” seorang adiksi narkoba harus melewati tiga tahapan pemulihan yaitu : ’ Tahap Rehabilitasi Medis’, Tahap Rehabilitasi Non Medis’ dan ’Tahap Bina Lanjut’ (after care). Semua ini berarti, ”penyembuhan” terhadap individu yang mengalami permasalahan adiksi narkoba bukan proses sederhana. Para ahli sepakat, pencandu narkoba mempunyai masalah medis, psikologis, dan sosial yang serius.

Kita tahu, musuh masyarakat bukan pencandu, tetapi produsen dan pengedar. Statistik Dep.Kum dan HAM (2006) menunjukkan, jumlah mereka di penjara jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pencandu (73 persen pengguna, 25 persen pengedar, 2 persen produsen). Hukuman mereka juga lebih ringan dibandingkan dengan pencandu.

Pemenjaraan pencandu menyebabkan penjara penuh dan overcrowded, terjadinya kekerasan dan eksploitasi, penularan penyakit (termasuk HIV/AIDS), dan pengembangan jaringan baru yang melibatkan pencandu dalam kejahatan narkoba terorganisasi. Jika kita memahami persoalannya seperti ini, mengapa kita terus melakukan kesalahan yang sama?

Mungkin tanpa kita sadari dengan semakin banyaknya jumlah orang yang menjadi penghuni penjara maka semakin banyak pula negara kehilangan sumber produktivitas SDM. Belum lagi negara harus membiayai fasilitas dan biaya operasional setiap Lapas. Jika dipikirkan matang-matang, seorang pencandu—yang dalam banyak kasus kehilangan tujuan hidup—dapat ditangani secara lebih kreatif dan bermanfaat.

Penjara seolah menjanjikan adanya detoksifikasi dengan model kalkun dingin (cold turkey), yaitu bebas dari zat/obat adiktif. Namun, dengan maraknya peredaran narkoba di penjara, detoksifikasi pun tidak mungkin dijalankan secara efektif.

Tindakan selanjutnya, yaitu perawatan dan rehabilitasi, jelas tidak dapat terpenuhi di dalam penjara karena programnya tidak dirancang khusus untuk itu. Dibandingkan dengan panti rehabilitasi pecandu narkoba yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta yang jauh lebih lengkap, kondisi, fasilitas dan sumber daya manusia di Lapas cukup memprihatinkan. Akibatnya, banyak pencandu yang sakit, ketularan penyakit (termasuk HIV/AIDS), dan meninggal.

Karena tingginya penularan HIV di penjara, negara bahkan terpaksa membuat program baru, seperti rumatan metadon dan program pengurangan dampak buruk (harm reduction) lainnya.Selain itu program rehabilitasi di Lapas kadang dijadikan sarana untuk ’mengisi waktu luang saja’ tanpa diiringi oleh kesungguhan dari dalam diri untuk ’sembuh’ dari penyakit adiksinya.

Orang-orang seperti Roy Marten atau Fariz RM akan lebih bermanfaat, bagi dirinya dan orang lain, jika dimasukkan dalam program rehabilitasi medik, lalu sosial. Mereka perlu mencari makna hidup dengan membantu orang lain melalui bakat-bakat dan kemampuan mereka.

Mengelola sumber daya di dalam negara yang miskin—walau katanya kaya—seperti Indonesia, kita harus pandai-pandai berhemat. Ini bukan hanya soal finansial, melainkan justru soal memaksimalkan modal sosial yang ada. Jangan sampai bakat- bakat para pencandu habis dipenjara sekaligus bersama tubuh dan jiwa mereka.

Investasikan sumber daya yang sangat langka di negara ini untuk memerangi narkotikanya, mencegah dampak buruknya, dan mendidik masyarakat. Pencandu bukan musuh masyarakat. Oleh karena itu marilah dari sekarang kita lebih memfokuskan diri bagaimana menangani pecandu narkoba yang lebih efektif dan efesien lagi.

Apakah mereka butuh rehabilitasi dan perawatan, ataukah jeruji penjara yang hanya bisa menahan sementara rasa sugesti tanpa ada cara untuk bisa menghilangkanya?? Dan kemudian setelah keluar penjara kembali relapse??. Jangan sampai kita terjebak ke dalam lingkaran masalah yang tak ada ujungnya.
(Gita Noverita Sari)(Sumber : Irwanto Dosen Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya)

Read More...